Sudah Cerai Bahasa Inggrisnya

Sudah Cerai Bahasa Inggrisnya

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Sudah Cerai, Penuhi Kewajiban Ini!

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag.*

PWMJATENG.COM – Bercerai memang dimungkinkan  terjadi, namun ingat, selesai cerai bukan berarti semua sudah selesai. Masing-masing mantan suami istri masih memiliki tanggungjawab dan kewajiban terhadap mantan pasangan dan juga anak-anaknya. Jangan lepas cerai main lari dari tanggungjawab.

Berikut beberapa kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak terhadap istrinya:

1. Memberi mut’ah (memberikan sesuatu untuk menggembirakan hati) kepada bekas istri.

Suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya hendaklah memberikan mut’ah pada bekas istrinya itu.  Mut’ah itu boleh berupa pakaian, barang-barang atau uang sesuai dengan keadaan dan kemampuan suami menurut batas-batas kepatutan.

Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT didalam QS 2:241.

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ  [البقرة: 241]

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”

2. Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak selama masa iddah.

Apabila masa iddahnya telah selesai, maka habislah kewajiban memberi nafkah pakaian dan tempat kediaman. Hal ini sebagaimana diatur dalam QS 65:6.

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ …[الطلاق: 6]

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka….”

Menurut ayat ini, suami wajib memberikan tempat tinggal untuk istri yang telah ditalak, sedangkan memberi makanan dan pakaian dikiaskan terhadapnya.

Kewajiban suami terhadap mantan istri diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) terkhusus Pasal 149 KHI dan Pasal 152 KHI yang berbunyi:

“Pasal 149 KHI: Bila mana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

Pertama, memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla ad-dukhul (belum dikumpuli).

Kedua, memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

Ketiga, melunasi mahar yang masih berutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al dukhul.

Keempat, memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21.[2]

Dalam konteks nafkah iddah, hak mantan istri menjadi gugur karena nusyuz seperti dalam ketentuan Pasal 152 KHI: “Bekas Istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz”.

Kewajiban seorang suami terhadap mantan istrinya juga diatur dalam Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”

Demikian beberapa kewajiban suami terhadap mantan istri dan juga anak-anaknya setelah bercerai.

Sungguhpun telah berpisah atau bercerai, baik mantan suami maupun istri tidak boleh memutus silaturahmi termasuk dengan keluarganya. Keduanya masih harus menjaga hubungan baik atau tetap bersilaturahmi. Hubungan baik ini masih diperlukan terutama berkaitan dengan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak pasca perceraian baik anak ikut ayahnya atau ibunya atau bahkan ikut kakek-nenek atau pamannya.

Dengan menjaga hubungan baik, insya Allah nasib anak akan lebih baik, terutama jika ayahnya masih bertanggungjawab dalam hal nafkah dan perhatian. Namun jika hubungan buruk, apalagi makin memburuk, maka walaupun suami punya harta atau penghasilan cukup, terkadang mengalami hambatan psikis untuk menemui atau membiayai anak-anaknya yang kebetulan ikut ibunya, terlebih jika ibunya telah kawin lagi.

Memang, karena umumnya perceraian dimulai dari masalah yang cukup serius, umumnya pasca cerai hubungan mantan suami-istri cenderung kaku dan terkadang disisipi rasa sakit hati dan bahkan dendam. Sehingga silaturahmi putus dan bahkan kebencian dan kejengkelan terlalu mendominasi hubungan pasca perceraian. Namun hal ini jangan sampai mengorbankan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Diperlukan kebesaran jiwa untuk menekan ego masing-masing demi kebaikan anak-anak di masa depannya.

[1] Achmad Asfi Burhanudin, “Kewajiban Orang Tua Atas Hak-Hak Anak Pasca Perceraian,” Dalam Jurnal, E Journal Kopertais IV, 2015, https://www.academia.edu/download/44620332/648-1899-1-PB.pdf.

[2] Jamaluddin Jamaluddin, “Teori Maslahat Dalam Perceraian: Studi Pasca Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam,” Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum 46, no. 2 (2012), http://www.asy-syirah.uin-suka.com/index.php/AS/article/view/47.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 840

Ini adalah kejadian ketiga kalinya dalam bulan ini. Statusnya BELUM KAWIN, tapi sudah mengajukan perubahan status menjadi CERAI dengan bukti AKTA CERAI dari Pengadilan Agama. Judul di atas bukanlah sebuah karangan atau imajinasi. Tapi real terjadi pada beberapa masyarakat kita ketika melihat histori Administrasi Kependudukan. Ini adalah kasus ekstrim, walaupun masih ada yang lebih ekstrim dari itu.

Itulah wajah administrasi kependudukan masyarakat kita. Betapa banyak masyarakat yang tidak peduli dengan dokumen kependudukan yang tertulis di Kartu Keluarga bahkan di KTP. Riwayat perubahan data dalam perjalanan hidup yang dilalui, sering tidak diikuti dengan perubahan pada dokumen kependudukan. Judul di atas adalah kasus nyata, dan kejadiannya tidak hanya satu dua, tapi puluhan.

Bukankah sudah semestinya ketika ada perubahan status dari BELUM KAWIN menjadi KAWIN TERCATAT atau KAWIN TIDAK TERCATAT, mestinya dilakukan pembaharuan data di KK dan KTP? Faktor apa yang menghalangi untuk pengurusan perubahan itu kecuali hanya karena ketidakpedulian?

Dan rupanya ini wajah dokumen kependudukan masyarakat kita. Betapa banyak perubahan Pendidikan pada anggota keluarga dari tidak sekolah menjadi SD/sederajat. Dari SD menjadi SMP/sederajat. Dari SMP menjadi SMA/sederajat dan seterusnya, tapi tidak dilakukan pembaharuan di dokumen kependudukan baik KK maupun KTP. Demikian juga pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga. Ketika lulus sekolah baik SMP/SMA/Sarjana dan kemudian bekerja, sudah semestinya KK/KTP diperbaharui jenis pekerjaannya. Demikian juga terhadap data-data yang lain seperti status perkawinan di atas.

Kasus belum kawin tapi sudah cerai adalah karena ketidakpedulian terhadap dokumen administrasi kependudukan. Saat setelah melakukan pernikahan, perubahan data di KK/KTP tidak langsung dilakukan pembaharuan, bahkan ketika sebagai keluarga sendiri bersama suami, KK pun tidak dipisah dari KK orang tua. Dan ketika terjadi perceraian, dokumen lama yang dijadikan dasar untuk perubahan adalah dokumen sebelum pernikahan, dimana KK yang ada adalah KK bersama orang tua.

SIAK Terpusat yang diinstalasi di desa, sudah cukup memudahkan masyarakat untuk melakukan pembaharuan data dalam dokumen kependudukan. Bahkan jika literasi digital masyarakat cukup baik, Dirjen Dukcapilpun telah memfasilitasi aplikasi Identitas Kependudukan Digital (IKD) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dalam melakukan perubahan data dokumen kependudukan secara mandiri. (js)

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Promo Terbatas Layanan Jasa Penerjemah (Pesan Via WhatsApp) Gratis Konsultasi Sekarang!!!