Pertempuran Laut Di Indonesia
Bandung Lautan Api
https://www.liputan6.com/
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1946. Dalam waktu kurang lebih tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar tempat tinggal mereka dan meninggalkan kota untuk menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan guna untuk mencegah tentara Sekutu beserta dengan tentara NICA Belanda untuk menjadikan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam upaya perang untuk merusak kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Pada mulanya, hubungan mereka dengan pemerintah Republik Indonesia sudah tidak baik. Mereka menuntut supaya semua senjata api yang ada di tangan masyarakat, kecuali bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), diserahkan kepada sekutu. Disamping itu, Para orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan berbagai tindakan yang mengganggu keamanan sekitar. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara tentara Inggris dengan TKR tak bisa terhindarkan.
Pada malam hari, tanggal 21 November 1945, TKR dibantu dengan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap tempat yang dijadikan markas oleh tentara Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Preanger dan Hotel Homann. Tiga hari kemudian, pemimpin pasukan Inggris, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengosongkan Bandung Utara dari para penduduk Indonesia termasuk juga para pasukan bersenjata.
Ultimatum dari Tentara Sekutu supaya Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Para pejuang pihak Republik Indonesia merasa tak rela apabila Bandung digunakan oleh pihak Sekutu dan NICA untuk dijadikan sebagai markas. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diputuskan melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang pada masa itu menjabat sebagai Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk segera melakukan evakuasi ke luar Kota Bandung. Pada hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang untuk meninggalkan kota Bandung dan pada malam itu juga pembakaran kota berlangsung.
Kota Bandung dengan sengaja dibakar oleh TRI dan masyarakat setempat dengan maksud supaya Sekutu tidak bisa menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Tentara Inggris murka dan mulai menyerang sehingga terjadi sebuah pertempuran sengit. Pertempuran terbesar terjadi di Desa Dayeuhkolot, yakni daerah sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar yang dimiliki oleh Tentara Sekutu.
Dalam pertempuran ini dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) yakni Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan terjun ke dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang dengan menggunakan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi yang berada di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya berencana untuk tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan, maka pada pukul 21.00 WIB, mereka turut ikut dalam rombongan yang melakukan evakuasi dari kota Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih sekitar pukul 00.00 WIB, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan juga TRI. Meski demikian, api masih membubung tinggi membakar kota, sehingga Bandung pun seakan menjadi lautan api.
Pembakaran total kota Bandung tersebut dianggap sebagai strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena pada masa itu, kekuatan TRI bersama dengan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan dari pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Pasca peristiwa tersebut, TRI bersama dengan milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya di luar Bandung.
https://www.minews.id/
Salah satu pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang paling dikenang ialah perang Puputan Margarana di Bali pada tanggal 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kolonel I Gusti Ngurah Rai.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerahnya untuk menghadang agresi dari pihak Belanda yang ingin kembali untuk menguasai Bali. Ia pun membentuk pasukan yang dinamakan sebagai pasukan Ciung Wanara.
Pada perjanjian Linggarjati 10 November 1946, pihak Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa, dan Madura sebagai wilayah dari Republik Indonesia. Sedangkan Belanda ingin menjadikan Bali masuk ke dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT). I Gusti Ngurah Rai pun dibujuk oleh para pasukan Belanda untuk bergabung. Akan tetapi, rasa cintanya kepada Republik Indonesia membuatnya enggan.
I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukan Ciung Wanara untuk merampas seluruh persenjataan yang dimilki oleh polisi NICA yang sedang menduduki Kota Tabanan. Sikap dari Ngurah Rai membuat pihak Belanda geram dan ingin membalas dendam.
Saat pasukan Ciung Wanara beserta dengan sang pemimpin sedang melakukan long march ke Gunung Agung, mereka diserang oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi terdesak, Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan yang mengeluarkan seluruh tenaga. Dalam pandangan para pejuang Bali, lebih baik berjuang sebagai ksatria daripada menyerah dan jatuh ke tangan musuh.
Sengitnya perlawanan tersebut, membuat militer Belanda mengerahkan pesawat tempur yang diterbangkan dari Makassar. Pasukan Ciung Wanara dijatuhi bom dan juga rentetan tembakan. Namun, Pasukan Ngurah Rai tak mundur.dan menjadikan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan 95 orang pasukannya. Sedangkan sekitar 400 orang dari pihak Belanda tewas.
Pertempuran Ambarawa
https://www.inews.id/
Pertempuran Ambarawa di Provinsi Jawa Tengah melibatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Indonesia dengan pasukan tentata Inggris. Pertempuran ini berlangsung selama sekitar tiga minggu, dimulai pada tanggal 20 November 1945 hingga 15 Desember 1945.
Pasukan Inggris mendarat di Jawa Tengah dengan tujuan untuk menyelamatkan para tawanan serta interniran yang ditahan oleh pasukan Jepang. Timbul perselisihan yang disebabkan karena sikap orang Belanda yang tidak mengenakkan ketika sedang menangani para tawanan tersebut.
Akhirnya terjadi bentrokan antara pasukan sekutu dengan TKR. Para pejuang Indonesia melakuka blokade pada sejumlah jalan serta menembaki pasukan Inggris, dan dibalas dengan menggunakan senapan mesin beserta mortir. Panglima Besar Sudirman langsung mengambil alih komando pasukan dalam pertempuran Ambarawa.
Pertempuran Ambarawa berlangsung dengan sengit. Pasukan sekutu dengan sangat serius ingin menghabis pasukan Republik Indonesia. Mereka mendatangkan beberapa pesawat terbang pemburu serta kapal penjelajah Inggris HMS Sussex, juga turut menembakkan meriam artilerinya ke daerah gunung Ungaran. Betapa seriusnya perang Ambarawa, hingga 75 orang yang pada masa itu berstatus sebagai bekas tawanan perang pun harus turut bertempur melawan TKR.
Meski demikian, memasuki pertengahan Desember, posisi pasukan Inggris semakin terjepit dalam pertempuran tersebut. Selain itu, mereka juga memiliki tugas untuk melindungi para tawanan yang telah dibebaskan. Pasukan Inggris pun akhirnya memutuskan untuk menyerah dan mundur dari Ambarawa.
Pertempuran Medan Area
https://sumut.indozone.id/
Pertempuran Mefan Area merupakan konflik pertama yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pertempuran Medan Area ialah sebuah peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap munculnya Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatra Utara.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu yang berasal Inggris ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan Indonesia. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing terjadinya berbagai insiden yang salah satunya terjadi di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota Medan, Sumatra Utara pada tanggal 13 Oktober 1945.
Pada masa itu, seorang penghuni merampas sekaligus menginjak-injak lencana merah putih yang dikenakan oleh pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda Indonesia. Pada tanggal 13 Oktober 1945, barisan pemuda beserta dengan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya untuk merebut serta mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang.
Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia supaya menyerahkan seluruh senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tak pernah dihiraukan hingga pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang banyak papan yang tertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu dianggap sebagai tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu bersama dengan NICA melancarkan serangan besar-besaran di Kota Medan. Serangan ini menyebabkan banyak kerusakan serta banyak korban dari kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu bersama NICA berhasil menguasai Kota Medan. Untuk sementara waktu, pusat perjuangan rakyat Medan berpindah ke daerah Siantar,disamping itu perlawanan para laskar pemuda dipindahkan ke luar Kota Medan. Perlawanan terhadap sekutu menjadi semakin sengit terutama pada saat tanggal 10 Agustus 1946 di Kota Tebing Tinggi.
Lalu, diadakanlah pertemuan antara para Komandan pasukan yang berjuang di Medan Area serta memutuskan untuk dibentuk nya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat guna untuk memperkuat perlawanan kepada Sekutu dan NICA di Kota Medan. Usai pertemuan para komando tersebut, pada tanggal 19 Agustus 1946 di Kabanjahe telah terdapat Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang berganti nama menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo.
Komando Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo dipimpin oleh Matang Sitepu sebagai ketua umum dan dibantu oleh Tama Ginting, Selamat Ginting, Rakutta Sembiring, Payung Bangun, Keterangan Sebayang, dan R.M. Pandia dari N.V Mas Persada Koran Karo-karo.
Di dalam Barisan Laskar Rakyat ini seluruh potensi kepemimpinan pemuda dengan berisan-barisan perjuangannya dirangkul dan digabungkan ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk para anggota bekas organisasi lain yang masih ada.
Dalam prosesnya, Komando Laskar Rakyat kemudian berubah menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR) Tanah Karo yang merupakan tentara resmi pemerintah Indonesia, di mana Djamin Ginting yang merupakan bekas komandan pleton Gyugun ditetapkan sebagai Komandan Pasukan Teras. Pada umumnya, yang menjadi anggota BKR ini merupakan orang-orang bekas anggota Gyugun atau Heiho serta berisan-barisan lain yang pernah dibentuk oleh Jepang.
Untuk melanjutkan perjuangan, maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando resimen ini secara terus menerus mengadakan serangan terhadap Sekutu di daerah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatra terjadi perlawanan antara rakyat baik terhadap Jepang, Sekutu, maupun pihak Belanda. Pertempuran itu terjadi di daerah yang lainnya juga, antara lain yakni Berastagi, Bukit Tinggi, Padang, dan juga Aceh.
Pertempuran Medan Area
https://sumut.indozone.id/
Pertempuran Mefan Area merupakan konflik pertama yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pertempuran Medan Area ialah sebuah peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap munculnya Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatra Utara.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu yang berasal Inggris ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan Indonesia. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing terjadinya berbagai insiden yang salah satunya terjadi di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota Medan, Sumatra Utara pada tanggal 13 Oktober 1945.
Pada masa itu, seorang penghuni merampas sekaligus menginjak-injak lencana merah putih yang dikenakan oleh pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda Indonesia. Pada tanggal 13 Oktober 1945, barisan pemuda beserta dengan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya untuk merebut serta mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang.
Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia supaya menyerahkan seluruh senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tak pernah dihiraukan hingga pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang banyak papan yang tertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu dianggap sebagai tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu bersama dengan NICA melancarkan serangan besar-besaran di Kota Medan. Serangan ini menyebabkan banyak kerusakan serta banyak korban dari kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu bersama NICA berhasil menguasai Kota Medan. Untuk sementara waktu, pusat perjuangan rakyat Medan berpindah ke daerah Siantar,disamping itu perlawanan para laskar pemuda dipindahkan ke luar Kota Medan. Perlawanan terhadap sekutu menjadi semakin sengit terutama pada saat tanggal 10 Agustus 1946 di Kota Tebing Tinggi.
Lalu, diadakanlah pertemuan antara para Komandan pasukan yang berjuang di Medan Area serta memutuskan untuk dibentuk nya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat guna untuk memperkuat perlawanan kepada Sekutu dan NICA di Kota Medan. Usai pertemuan para komando tersebut, pada tanggal 19 Agustus 1946 di Kabanjahe telah terdapat Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang berganti nama menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo.
Komando Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo dipimpin oleh Matang Sitepu sebagai ketua umum dan dibantu oleh Tama Ginting, Selamat Ginting, Rakutta Sembiring, Payung Bangun, Keterangan Sebayang, dan R.M. Pandia dari N.V Mas Persada Koran Karo-karo.
Di dalam Barisan Laskar Rakyat ini seluruh potensi kepemimpinan pemuda dengan berisan-barisan perjuangannya dirangkul dan digabungkan ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk para anggota bekas organisasi lain yang masih ada.
Dalam prosesnya, Komando Laskar Rakyat kemudian berubah menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR) Tanah Karo yang merupakan tentara resmi pemerintah Indonesia, di mana Djamin Ginting yang merupakan bekas komandan pleton Gyugun ditetapkan sebagai Komandan Pasukan Teras. Pada umumnya, yang menjadi anggota BKR ini merupakan orang-orang bekas anggota Gyugun atau Heiho serta berisan-barisan lain yang pernah dibentuk oleh Jepang.
Untuk melanjutkan perjuangan, maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando resimen ini secara terus menerus mengadakan serangan terhadap Sekutu di daerah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatra terjadi perlawanan antara rakyat baik terhadap Jepang, Sekutu, maupun pihak Belanda. Pertempuran itu terjadi di daerah yang lainnya juga, antara lain yakni Berastagi, Bukit Tinggi, Padang, dan juga Aceh.
5 Pertempuran di Indonesia Pasca Kemerdekaan – Diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah menjadi akhir dari perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Meski sudah mengumandangkan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, banyak ujian yang harus dihadapi oleh negara Indonesia.
https://www.viva.co.id/
Sebab, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya saat sedang dalam keadaan vacuum of power atau kekosongan kekuasaan pasca Jepang mengaku kalah kepada sekutu. Karena adanya pengakuan kalah tersebut, pasukan sekutu akan mengambil alih wilayah yang menjadi bekas jajahan Jepang, termasuk Indonesia.
Inilah alasan mengapa kondisi keamanan serta pertahanan Indonesia belum benar-benar stabil pada masa-masa awal pasca kemerdekaan. Berbagai pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan pun terjadi di berbagai daerah. Dari berbagai perang yang terjadi, berikut 5 pertempuran kemerdekaan yang paling dikenang dalam sejarah.
World of Warships: Blitz War
World of Warships: Blitz War menghadirkan pengalaman pertempuran angkatan laut dengan kontrol yang sederhana dan mudah dipahami. Game ini memungkinkan kamu bermain bersama pemain dari seluruh dunia dalam mode multiplayer online.
Baca Juga: Mau Jadi Gamers Handal? Ini 5 Tips Jadi Gamers Bijak dan Jago
Game ini menawarkan berbagai jenis armada laut, termasuk kapal perang, kapal penjelajah, kapal perusak, hingga kapal induk. Tersedia lebih dari 400 kapal militer yang didesain akurat berdasarkan kapal nyata dari era Perang Dunia I dan II.
Battle Warship: Naval Empire membawa pengalaman baru dalam pertempuran laut yang berlangsung di dunia pasca-apokaliptik yang dikuasai bajak laut. Kamu bisa memimpin kapal perang dan pesawat tempur untuk menghancurkan lawan dalam pertempuran seru.
Game ini menawarkan lebih dari 20 jenis pesawat, masing-masing dengan kemampuan unik yang bisa kamu eksplorasi.
Itulah 3 rekomendasi game android bertema kapal perang terbaik di android yang menawarkan pertempuran seru di laut dengan teknologi canggih.***
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait
Pertempuran Biak merupakan bagian dari kampanye Niugini dalam Perang Dunia II. Pertempuran tersebut dilakukan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dari 27 Mei 1944 hingga 20 Juni 1944. Di sinilah untuk pertama kalinya pihak Jepang menggunakan taktik penyergapan dalam skala besar di Perang Dunia II.
Pulau Biak mendominasi jalan masuk ke Teluk Geelvink, di dekat ujung barat Pulau Papua. Pulau tersebut dipertahankan oleh 11.000 pasukan Jepang di bawah komando Kolonel Kuzume Naoyuki. Karena ia tak menyukai doktrin penghancuran musuh di tepi perairan, ia memutuskan untuk membiarkan pihak Amerika mendarat ke pantai tanpa perlawanan, supaya mereka tanpa curiga melenggang masuk ke dalam perangkap yang telah ia persiapkan bagi mereka. Keputusan ini menyebabkan kawasan di sekitar lapangan udara yang vital di pulau tersebut diubah menjadi jaringan bawah tanah militer penuh gua dan kubu pertahanan, yang berisi infantri, senapan otomatis, artileri, regu-regu mortir, dan tank-tank ringan Tipe 95 Ha-Go. Naoyuki juga membekali posisi-posisi tersebut dengan amunisi, makanan dan minuman dalam jumlah berlimpah agar bisa bertahan selama berbulan-bulan. Di Biak, air minum tak tersedia dalam jumlah banyak, sehingga di sana hawa panas dan kelembapan akan mengakibatkan korban dalam jumlah yang hampir sama dengan peluru musuh.
Dari satu pesan bertanggal 4 Mei 1944 yang berhasil disadap, diketahui bahwa intelijen Komando Pasukan Area ke-2 AD Kekaisaran Jepang menyangka pendaratan Sekutu berikutnya akan dilakukan di Biak, sehingga pendaratan pendahuluan dilakukan terhadap Wakde pada tanggal 17 Mei, dalam perjalanan menuju Biak. Di sana sebuah lapangan terbang yang lebih kecil tersedia, yang bisa digunakan sebagai pangkalan garis depan hingga lapangan-lapangan terbang di Biak siap digunakan. Walaupun prakiraan intelijen memperkirakan pasukan musuh berjumlah sekitar 5000 orang, sebuah pesan yang berhasil disadap pada akhir bulan April mengungkapkan jumlah pasukan berdasarkan kebutuhan ransum sekitar 10.800 orang, walau angka tersebut dianggap mewakili proyeksi kekuatan, dan bukan kekuatan riil saat ini.[1]
Resimen Infantri ke-162 dari Divisi ke-41 AD AS mendarat di Biak pada 27 Mei 1944, dan, pada pukul 5.15 sore, berhasil mendaratkan 12.000 orang pasukan, dengan 12 tank Sherman, 29 artileri lapangan, 500 kendaraan dan 2400 ton suplai. Salah satu suplai tersebut adalah es krim, yang langsung dibagikan pada hari pertama. Daratan pulau tersebut adalah karang yang keras, sehingga mesti diledakkan dengan dinamit supaya buldozer bisa bekerja di sana dengan lancar [2]
Mereka bergerak masuk ke dalam pulau dengan penuh percaya diri dalam keyakinan hanya akan menghadapi perlawanan ringan, hingga mereka mencapai lapangan terbang yang vital itu. Kemudian, dari dataran sekitar dan tepian-tepian puncak perbukitan di atas, muncul badai peluru dan proyektil meriam yang membuat mereka berlindung tanpa bisa ke mana-mana. Setelah malam tiba, barulah traktor-traktor amfibi berhasil mengeluarkan mereka dari jebakan tersebut. Pada hari berikutnya, mereka mencapai lapangan Mokmer, dengan sasaran lapangan Sorido. Pasukan Jepang tetap bertahan, dan menunda jatuhnya lapangan Mokmer selama sepuluh hari.[3]
Karena penundaan tersebut, markas Komando AU ke-5 di Nadzab mengatur agar Pulau Owi, yang berada di sebelah selatan pantai Bosnik (hanya beberapa kilometer sebelah timur Mokmer), direbut pada tanggal 2 Juni, lalu membangun dua landasan sepanjang 7.000 kaki di sana. Sebuah detasemen garis depan ditempatkan di sana bersama 15.000 orang pasukan, satu grup pesawat pengebom, dua grup pesawat pemburu, dan satu grup pesawat pemburu malam hari P-61 "Black Widow." [4]
Dari sebuah sadapan, Unit Nirkabel ke-1 RAAF mendapat informasi bahwa Letjen Takuzo Numata, Kepala Staf Komando Pasukan Area ke-2 AD sedang berada di pulau tersebut dalam sebuah tur inspeksi. Pangkatnya lebih tinggi dari Kolonel Kuzume, dan mengirim pesan yang memohon agar dirinya dievakuasi. Dirinya dievakuasi oleh pesawat amfibi dari Teluk Korin pada tanggal 20 Juni. Pada tanggal 22 Juni, Kolonel Kuzume membakar panji-panji kesatuan lalu melakukan hara kiri.[5]
Karena Laksamana Toyoda membutuhkan landasan-landasan di Biak untuk menyerang Armada Pasifik AS, ia melancarkan Operasi Kon, upaya untuk menyelamatkan Biak. Sebuah serangan pada tanggal 8 Juni berhasil dibendung oleh kekuatan laut Amerika dan Australia. Serangan pertama pada tanggal 1 Juni dibatalkan ketika sebuah pesawat Jepang memberi laporan keliru yang menyatakan kehadiran sebuah kapal induk AS, dan serangan ketiga pada tanggal 13 Juni dialihkan ke utara, ke Laud Filipina untuk menyerang kapal-kapal induk Armada ke-5 AS; serangan ini mestinya mengikutsertakan kapal-kapal tempur super Jepang, Yamato dan Musashi.[6]
Pasukan Amerika berhasil menembus pertahanan Jepang pada tanggal 22 Juni, di mana daerah pesisir dari Bosnik hingga Sorido berhasil direbut, termasuk tiga lapangan terbang di Sorido (4500 kaki), Borokoe (4500 kaki), dan Mokmer (8000 kaki). Masih tersisa sekitar 3.000 pasukan Jepang yang mencoba menggalang serangan balik penghabisan hingga 17 Agustus.[7] Bleakley mengenang bahwa dalam sebuah gubuk bambu berisi peralatan rekreasi Jepang, semacam PX atau toko khusus militer yang memuat "lusinan pasang sepatu skating" – "di sebuah pulau antah berantah di khatulistiwa!". Selama beberapa waktu ia menyimpan sepasang sebagai suvenir, dan berkata bahwa para prajurit Jepang diberitahu kalau mereka berada di sebuah pulau lepas pantai San Francisco, dan tak lama lagi akan menginvasi Amerika. Ia berada bersama Unit Nirkabel ke-1 RAAF, satu-satunya kesatuan Australia di pulau tersebut.[8]
Bagi pihak Amerika, perebutan Pulau Biak memakan korban 474 orang tewas dan 2.428 luka-luka. Pihak Jepang kehilangan 6.000 orang tewas dan 450 orang tertawan, sehingga lebih dari 4.000 orang lainnya tak diketahui nasibnya atau hilang dalam tugas dan diasumsikan tewas. Artinya, mereka dimusnahkan. Setelah itu, tak ada lagi serangan Banzai tanpa pikir panjang dan penuh emosi, yang biasanya membuat kekuatan Jepang terkuras hingga pupus. Biak merupakan pertempuran yang melelahkan dan alot. Taktik penyergapan atau menunda-nunda ini diulangi di Pertempuran Peleliu, Pertempuran Okinawa, dan Pertempuran Iwo Jima, yang sebelumnya diperkirakan Korps Marinir AS dan AD AS bisa dimenangkan hanya dalam beberapa hari atau minggu saja, tetapi justru berlanjut hingga berbulan-bulan, dengan kerugian yang sangat besar, bukan hanya karena menghabiskan waktu yang berharga, tetapi juga jatuhnya korban jiwa dan peralatan yang jauh lebih berharga.
Di pantai Paray, di antara desa Mokmer dan Bosnik, sekitar tujuh kilometer dari Biak Kota, terdapat sebuah monumen peringatan Perang Dunia II. Monumen ini dibangun pada tahun 1994 lewat kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang. Ada pula gua Jepang Binsari, yang terletak di Desa Sumberker, Samofa, sekitar lima kilometer dari Biak Kota.[9]
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertemuan keduanya pun menghasilkan terjadinya gencatan senjata.
Akan tetapi, pada 31 Oktober 1945, tersiar kabar tentang hilangnya Brigjen Mallaby yang ternyata tewas terbunuh.
Sebagai tindak lanjut dari kabar tersebut, pihak Inggris, Mayir Jenderal Manserg, memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945.
Namun, hingga tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi WIB, tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang menyerahkan diri.
Akibatnya, pertempuran pun pecah. Para pejuang Indonesia berusaha melawan Sekutu menggunakan senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya pun mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini telah memakan korban jiwa dari pihak Indonesia sebanyak 20.000 orang, sedangkan dari pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Baca juga: Mohammad Toha, Tokoh Penting Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 13 Oktober 1945, ketika pasukan Sekutu tiba di Kota Bandung dengan diboncengi oleh NICA.
Setibanya di Bandung, pasukan Sekutu langsung menguasai kota dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang.
Kemudian, pada 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung segera meninggalkan area Bandung Utara, tetapi ultimatum itu tidak dihiraukan.
Sekutu yang mulai terdesak pun kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 11 kilometer.
Ultimatum ini lantas mendongkrak semangat perlawanan para pejuang Indonesia.
Pasukan Indonesia membuat strategi dengan merancang operasi bernama Bumi Hangus.
Begitu penduduk meninggalkan Bandung, operasi Bumi Hangus langsung dijalankan dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung.
Prasasti yang menjadi bukti terjadinya Pertempuran Medan Area
Dalam sekejap, Kota Bandung sudah diselimuti oleh asap gelap dan pemadaman listrik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang Sekutu secara bergerilya.
Baca juga: Pertempuran Medan Area: Latar Belakang, Konflik, dan Dampak
Pertempuran Medan Area terjadi tanggal 13 Oktober 1945 hingga April 1946, setelah tentara Sekutu yang dipimpin oleh TED Kelly mendarat di Medan.
Kedatangan Sekutu dan NICA ini memancing kemarahan warga Indonesia.
Terlebih, ketika salah satu anggota NICA disebut merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang digunakan oleh seorang pemuda Indonesia.
Menindaklanjuti hal ini, pada 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Inggris kemudian mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia untuk segera menyerahkan senjata kepada Sekutu, tetapi lagi-lagi ultimatum itu tidak diindahkan.
Puncak pertempuran terjadi tanggal 10 Desember 1945, di mana Sekutu dan NICA menyerang Kota Medan secara habis-habisan.
Bulan April 1946, Sekutu sudah berhasil menguasai Kota Medan.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia masih dihantui oleh Belanda.
Belanda terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda ialah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirim pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Agresi Militer Belanda I berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Belanda mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari pada tanggal yang sama, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayahnya masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran dimulai antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda. AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Hasil Konferensi Meja Bundar yang Tidak Dapat Direalisasikan Belanda
Akhir perang kemerdekaan Indonesia adalah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Sebelum penyerahan itu tercapai, Indonesia dan Belanda lebih dulu berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada akhirnya, tanggal 2 November 1949, Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani persetujuan KMB.
Salah satu isi KMB adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada RI pada Desember 1949, tepatnya tanggal 27 Desember.
Pertempuran Fancheng terjadi antara panglima perang Liu Bei dan Cao Cao pada tahun 219 di akhir Dinasti Han Timur. Pertempuran ini dinamakan sama dengan Fancheng (樊城; juga dikenal sebagai Benteng Fan atau Kota Fan), sebuah benteng kuno yang terletak di Fancheng Kabupaten, Xiangyang, Hubei.
Pada Oktober 218, jenderal di pihak Cao Cao, Hou Yin (侯音), beserta Wakil Jenderal Wei Kai (衛開) dari Wan (宛; kini Nanyang, Henan), memberontak dengan ribuan pasukan dan meminta bantuan Guan Yu.[1] Empat bulan dihabiskan oleh Cao Ren untuk menghancurkan pemberontakan dengan membunuh Hou Yin dan Wei Kai sementara Guan Yu sama sekali tidak menanggapi pemberontak. Setelah merebut Hanzhong dengan mengalahkan Cao Cao pada Mei 219, Liu Bei memperluas kekuasaannya pada bulan Juni 219 dengan mengirimkan Meng Da dan Liu Feng untuk mengambil alih Fangling (房陵; kini Wilayah Fang, Hubei) dan Shangyong (上庸; utara dari Wilayah Zhushan, Hubei di masa kini). Dalam kurun waktu ini, Cao Cao pun terpaksa untuk bertahan setelah kemunduran yang terus-menerus dan Sun Quan dari Jiangdong memutuskan untuk mengambil kesempatan menyerang Cao Cao sementara pasukannya yang baru kalah kembali berkumpul dan beristirahat.
Menyadari serangan yang pasti datangnya dari Liu Bei dan Sun Quan, Cao Cao berencana untuk meluncurkan serangan pendahuluan terhadap Provinsi Jing (荊州; meliputi Hubei dan Hunan masa kini), bagian timur wilayah Liu Bei yang dipertahankan oleh Guan Yu. Rencana tersebut menyebabkan Liu Bei tidak bisa melanjutkan serangan di utara karena harus mengkonsolidasi apa yang baru saja ia peroleh, dan serangan terhadap Provinsi Jing pun tidak akan terhalang karena invasi Liu di tempat lain. Namun, rencana itu dibatalkan karena pasukan Cao Cao masih memerlukan waktu untuk pulih, berkumpul kembali dan membekali diri setelah penekanan pemberontakan Hou Yin dan Wei Kai, serta kemunduran dalam perjuangan Hanzhong yang sebelumnya. Pasukan yang babak belur ini belum siap untuk operasi militer lainnya.
Pada Juli 219, Sun Quan memobilisasi pasukannya dalam persiapan untuk menyerang Hefei, dan pasukan Cao Cao didistribusikan ke daerah selatan Sungai Huai untuk menangkis kemungkinan serangan. Mendapat kesempatan, Guan Yu memutuskan untuk meluncurkan serangannya sendiri melawan Cao Cao. Mi Fang, administrator Komando Nan (南郡; kini Wilayah Jiangling, Hubei) diperintahkan untuk tinggal di belakang untuk menjaga Jiangling (江陵) Kota Komando Nan, sementara Jenderal Shi Ren diperintahkan untuk menjaga Gong'an (公安; barat laut Wilayah Gong'an masa sekarang, Hubei). Kekuatan utama Liu Bei di wilayah itu dipimpin oleh Guan Yu sendiri dan digunakan untuk menyerang benteng-benteng Cao Cao di utara.
Tujuan operasi ini tidak dinyatakan dengan jelas; Guan Yu memimpin pasukannya sepanjang Sungai Han ke arah utara sampai ia mengepung Fancheng (sekarang Fancheng Distrik Xiangyang, Hubei). Berdasarkan rute tersebut dan fakta bahwa Guan memilih untuk mengkonsentrasikan pasukan utamanya di Fancheng, tujuan utamanya diyakini adalah penaklukan Komando Nanyang. Awalnya, kota-kota yang diserang tidak dijaga ketat karena Cao Ren di Fancheng dan Lu Chang (呂常) di Xiangyang (襄陽; kini Xiangzhou Distrik Xiangyang, Hubei) telah dikepung. Maka, Cao Cao memerintahkan Yu Jin untuk membantu Cao Ren. Setelah mendirikan pangkalan di dataran rendah sekitar empat km di utara Fancheng, Yu Jin mulai mempersiapkan serangan balasan. Bersemangat untuk membuktikan kesetiaannya karena ia dicurigai oleh yang lain, Jenderal Pang De bersukarela memimpin pasukan untuk menghadapi Guan Yu, berhasil memaksanya mundur beberapa kali. Pada satu kesempatan, Pang De menembak panah yang tertanam di helm Guan Yu. Sejak itulah Pang De dikenal luas dan ditakuti oleh musuh sebagai Jenderal Kuda Putih, karena kuda putih yang ia tunggangi selama pertempuran.
Meskipun Guan Yu tidak bisa melewati Pang De dalam pertempuran, ia tetap memegang kontrol yang kuat atas rute air di area sekitar dan mempertahankan pengepungan Fancheng. Beberapa kemunduran jauh dari cukup untuk mematahkan tekad Guan Yu.
Pada bulan Agustus, hujan lebat menyebabkan Sungai Han meluap. Pasukan di bawah komando Yu Jin dan Pang De disapu bersih oleh bencana alam, setidaknya terdapat 40.000 kematian sementara 30.000 lainnya ditahan oleh angkatan laut Guan Yu. Pang De dan Yu Jin ditangkap; Yu memohon ampun untuk tetap hidup dan mundur, Pang menolak menyerah dan dieksekusi. Cao Ren, bersama ribuan pasukannya yang selamat terpaksa bertahan di balik benteng. Pada saat itu, Xu Huang, yang ditempatkan di Wancheng dengan pasukan yang murni baru direkrut, hanya mampu menset benteng bertahan, bukannya keluar dan membebaskan Cao Ren. Merasakan bahwa arus berganti, Inspector Provonsi Jing (posisi yang memiliki wewenang untuk meningkatkan pasukan dari seluruh Provinsi Jing[2]) Hu Xiu (胡修), dan Administrator Kota Nan Cao Cao (Kota Nan berlokasi di tenggara Wilayah Xichuan sekarang, Henan) Fu Fang (傅方) beralih pihak ke Guan Yu. Pimpinan pemberontak Liang (梁), Xia (郟), dan Luhun (陸渾, tenggara Wilayah Song sekarang, Henan) juga secara resmi menerima perintah Guan Yu.
Ancaman Guan Yu untuk Cao Cao setelah kesuksesan dininya sangat besar sehingga Cao Cao pernah bermaksud memindahkan ibu kota. Ketika Cao Cao meminta masukan dari penasihatnya, Sima Yi dan Jiang Ji (蔣濟) betul-betul keberatan. Mereka mengungkit bahwa persekutuan antara Liu Bei dan Sun Quan rapuh karena perseteruan mengenai kuasa atas Provinsi Jing dan Sun Quan pasti tidak akan senang atas kesuksesan Guan Yu. Mereka menyarankan agar Cao Cao mengirim utusan ke Sun Quan untuk menyodorkan Jiangnan jika Sun Quan setuju menusuk punggung Guan Yu.
Awalnya, Sun Quan mengirimkan utusan ke Guan Yu menyinggung keinginannya untuk menikahkan putranya sendiri dengan putri Guan. Namun, Guan Yu menghina utusan tersebut dan menolak proposal pernikahan itu, memancing kemarahan Sun Quan, sekutu yang tidak mungkin Liu Bei lepas. Kemenangan di awal juga terbukti merupakan pendahuluan dari malapetaka bagi Guan Yu yang dibuat terlalu percaya diri. Guan Yu kekurangan pengalaman dalam memegang bala tentara yang besar, terutama yang sebesar bawahannya kala itu, di mana pasukannya nyaris dua kali lipat semula karena 30.000 pasukan yang ditahan dari kemenangan sebelumnya masuk ke bala tentaranya. Untuk memberi makan pasukannya, Guan Yu menyuruh sekelompok di antaranya mengambil alih, dengan paksa, lumbung Sun Quan di perbatasan wilayah setempat. Perkara ini menambah marah Sun Quan sesudah penghinaan dan penolakan Guan Yu terhadap proposal pernikahan Sun Quan. Ia pun membulatkan tekad untuk memutuskan persekutuan dengan Liu Bei. Pada saat pecahnya peperangan, Liu Bei mengkontrol tiga komando Provinsi Jing: Nan, Lingling, dan Wuling, terkuat di antara ketiga kekuatan.
Setelah merebut persediaan pangan Sun Quan, Guan Yu memerintahkan bala bantuan dari Jiangling dan Gong'an untuk mengepung Fancheng yang tengah banjir. Hanya dengan beberapa ribu pasukan yang tersisa, Cao Ren juga dilanda kekurangan bahan pangan, maka ia hendak menelantarkan kota itu. Meski demikian, Administrator Runan Man Chong meyakinkan Cao Ren untuk tinggal karena banjir hanyalah sementara dan tidak akan lama. Man Chong juga mengingatkan bahwa barisan depan Guan Yu telah maju ke Wilayah Jia (郏) tetapi pasukan utamanya tidak berani ikut karena khawatir dikepung dari belakang pula dan diserbu dari kedua belah sisi. Benteng strategis Fancheng dan Xiangyang masih di tangan Cao Cao, berperan sebagai ancaman serius bagi pasukan musuh manapun yang maju di sekitar kedua kota itu. Man Chong berargumen jika kedua benteng itu dilepas, seluruh daerah selatan Sungai Kuning akan dibahayakan oleh gempuran musuh, sebab tidak hanya wilayah yang Guan Yu serang yang akan hilang, wilayah yang luas di timur juga akan direbut oleh Sun Quan; bila Guan Yu menyerang ke daerah itu, semua pasukan Cao Cao akan tercerai-berai. Man Chong menyimpukan, kedua benteng ini harus dipertahankan apapun yang terjadi hingga titik darah penghabisan. Cao Ren setuju dan memperkuat pertahanan, meningkatkan pasukannya sampai di atas 10.000 dengan memanggil wajib militer semua pria yang ada di sana dan mengumpulkan seluruh tentara miliknya.
Begitu Xu Huang diperintahkan untuk membantu Cao Ren, Cao Cao mengirim dua jenderal, Xu Shang (徐商) dan Lü Jian (呂建) untuk memimpin bantuan lagi menyusul Xu Huang, menyuruhnya tidak menyerang hingga seluruh bala bantuan tiba. Sambil menunggu, Xu Huang menuju Lereng Yangling (陽陵), utara Fancheng. Karena sebagian besar pasukan Cao Cao di bawah Xu Huang terdiri atas rekrutan baru, Xu setia mematuhi perintah Cao Cao untuk menahan serangan. Guan Yu memahami benar situasi Xu Huang, ditambah kepercayaan diri berlebihan atas kemenangan sebelumnya, ia sama sekali mengabaikan ancaman Xu Huang dan membuat kesalahan besar dengan membagi pasukannya dan mengirim pasukan lain ke Xiangyang, salah paham bahwa Fancheng akan dengan mudah jatuh ke tangannya. Namun, karena kekuatan dan keteguhan pertahanan, kota ini masih jauh dari menyerah.
Guan Yu membuat kesalahan strategi lagi dengan membiarkan baris depannya maju terlalu jauh dari pasukan utama dan tidak berhubungan dengan baris depan tersebut padahal ia tidak mampu memisahkan pasukan saat itu. Hasilnya, saat baris depan berada tiga mil dari Fancheng utara, terdapat celah besar di antaranya dengan pasukan utama. Mengambil kesempatan, Xu Huang mengumpan dengan menggali parit panjang, berpura-pura akan memotong baris depan Guan Yu yang tertipu dan mundur.[1] Pasukan Xu Huang kemudian mengambil alih Kota Yan (偃) yang dibuang dan menekan maju ke pasukan utama Guan Yu. Kala itu, kekuatan Xu Huang cukup besar sebagai ancaman terhadap Guan Yu, sebab 10.000 veteran yang kuat karena perang yang dipimpin oleh Yin Shu (殷署) dan Zhu Gai (朱蓋) telah bergabung dengan Xu Huang.
Selama kebuntuan, utusan Cao Cao kembali ke ibu kota Luoyang dengan surat dari Sun Quan, menginformasikan Cao bahwa Sun berencana menyerang Guan Yu dari belakang, Provinsi Jing. Sun Quan meminta Cao Cao menjaga ini sebagai rahasia sehingga Guan Yu lengah dan kebanyakan penasihat Cao Cao menyetujui rencana ini. Walaupun demikian, Dong Zhao keberatan sebab Liu Bei dan Sun Quan adalah musuh Cao Cao meskipun Sun Quan patuh terhadap Cao Cao untuk sementara. Jangka panjangnya, akan lebih baik bagi Cao Cao untuk memperlemah kedua musuh, bukan membuat salah satunya terlampau kuat. Jangka pendeknya, jika Guan Yu mengetahui tusukan dari belakang Sun Quan, ia pasti akan menarik pasukannya untuk memperkuat pangkalan utamanya di Provinsi Jing dan pengepungan Fancheng akan dihentikan. Di samping itu, Fancheng telah dikepung beberapa lama dan semangat juang pasukan Cao Cao sedang lemah. Apabila informasi penting ini tidak diteruskan ke pelaku pertahanan, beberapa di antara yang ada di Fancheng mungkin akan berkhianat terhadap Cao Cao karena kehabisan persediaan pangan. Dan lagi, Dong Zhao memberitahu bahwa bahkan jika Guan Yu sadar akan maksud Sun Quan, ia tidak akan menarik mundur pasukannya secepatnya karena kekeraskepalaannya dan kepercayaanya terhadap pertahanan Jiangling dan Gong'an.
Cao Cao dan yang lain diyakinkan oleh Dong Zhao dan melaksanakan apa yang ia tawarkan dengan persis: salinan surat Sun Quan diikat ke anak panah yang kemudian ditembakkan ke Fancheng dan pangkalan Guan Yu oleh pemanah Xu Huang. Semangat para pasukan yang bertahan meningkat sementara Guan Yu dilanda dilema: ia tidak mau menghentikan serangan terhadap Cao Cao karena ia percaya Jiangling dan Gong'an, pangkalannya di belakang, tidak akan jatuh dengan mudah. Lebih jauh lagi, jika ia (Guan Yu) berhasil mengalahkan pertahanan musuh, Sun Quan tentu akan mengeksploitasi kesempatan menyerang pertahanan Cao Cao yang melemah, bukannya menyerang ketiga komando di bawah Liu Bei, karena Guan Yu memandang bahwa Sun Quan memiliki lebih banyak keuntungan dalam mengambil alih daerah luas di wilayah timur hilir Sungai Yangtze dari Cao Cao daripada memegang ketiga komando Liu Bei. Saat Guan Yu bimbang, Cao Cao sendiri memimpin bala bantuan lainnya ke medan pertempuran, dan telah sampai di Lereng Mo (摩陂; tenggara Wilayah Jia sekarang, Henan).
Sebagian besar tentara Guan Yu bermarkas di Weitou (圍頭) sementara sisanya di Sizhong (四冢). Xu Huang mengumumkan serangan pasti ke Weitou, tetapi ia malah memimpin pasukannya untuk menyerang Sizhong secara tiba-tiba. Takut Pangkalan Sizhong akan lepas, Guan Yu memimpin 5.000 tentara untuk menyelamatkannya. Meski begitu, serangan ke Sizhong umpan belaka; Guan Yu disergap oleh suruhan Xu Huang saat masih di jalan. Guan Yu yang kalah kembali ke markas utamanya sementara pasukan Xu Huang membuntutinya dan menyerbu markas utama Guan, dengan sukses membunuh Hu Xiu dan Fu Fang yang berpindah sisi. Karena pangkalannya digempur oleh musuh, Guan Yu terpaksa menyerah, menghentikan kepungan terhadap Fancheng, dan mundur ke selatan.
Semua komandan garda depan Cao Cao yakin bahwa mereka sebaiknya memanfaatkan situasi dan mengejar Guan Yu, kecuali Penasihat Militer Zhao Yan (趙儼) yang memaparkan bahwa mereka sebaiknya tidak demikian supaya pasukan Guan dibiarkan berperang melawan Sun Quan, memperlemah kedua musuh Cao Cao. Cao Ren setuju dengan Zhao Yan dan tidak memburu Guan Yu. Begitu berita kemunduran Guan Yu sampai ke Cao Cao, ia mengirim utusan ke Cao Ren, melarangnya mengejar karena alasan yang sama.
Ketika Guan Yu kembali ke selatan, ia mengetemukan bahwa pangkalan belakangnya di Jiangling dan Gong'an telah menyerahkan diri kepada Lü Meng, komandan tentara barat Sun Quan. Lü Meng menyandera istri dan anak orang-orang Guan Yu, memperlakukan mereka dan penduduk Provinsi Jing sebaik-baiknya. Tentara Guan Yu, mendengar bahwa Provinsi Jing telah jatuh ke Sun Quan dan keluarga mereka ditangani dengan baik, kehilangan semangat tempur dan pergi.
Guan Yu, dengan pengikut yang sedikit, terisolasi di Maicheng (麥城; tenggara Dangyang sekarang, Hubei) di mana pasukan Sun Quan berada di ketiga sisi dan Cao Cao di utara. Saat Guan Yu mencoba untuk kabur, ia dan pengikutnya yang selamat, termasuk putranya Guan Ping dan Komandan Zhao Lei, ditangkap dalam penyergapan di Kota Zhang (章) (timur Wilayah Anyuan yang sekarang, Hubei) oleh jenderal-jenderal Sun Quan: Zhu Ran dan Pan Zhang. Guan Yu kemudian dieksekusi oleh Sun Quan di Linju (臨沮) bersama Guan Ping dan Zhao Lei.
Operasi militer Guan Yu gagal karena Liu Bei, Zhuge Liang, serta Fa Zheng tidak memberikan dukungan yang cukup untuk Guan Yu (atau tidak dapat), dan Guan memandang tinggi kemampuannya. Guan Yu tidak meminta dukungan dari Yi sampai sudah terlambat. Setelah Guan menangkap Yu Jin, ia sebenarnya sudah bisa mendeklarasikan kemenangan, menyatakan ulang tujuannya sebagai membinasakan pasukan musuh, atau melanjutkan pengepungan Fancheng. Kembali ke Jiangling bukan pilihan buruk untuk Guan karena ia dapat mengkonsolidasi hasil operasi militer dan menghindari risiko dari pertempuran berkepanjangan. Tidak memilih yang lain, Guan melanjutkan pengepungan yang juga merupakan opsi yang masuk akal pada waktu itu jika tidak lama. Walaupun kemenangan di awal ialah karena banjir (bencana alam), semangat juang pasukan pertahanan hancur dan Guan berusaha merogoh keuntungan darinya.
Kesalahan Guan bukanlah melanjutkan pengepungan, melainkan memutuskan ikatan dengan Sun Quan. Di awal operasi, ia mengirim utusan untuk meminta pertolongan Sun, dan nyatanya bala bantuan diberikan meskipun sangat lama sampainya ke medan perang. Guan seharusnya sudah menyadari bahwa ia tidak dipercaya oleh Sun pada waktu itu; bukannya memperkuat persekutuan, ia justru menghina utusan Sun dan menolak lamaran pernikahan, lalu merebut persediaan makanan Sun di perbatasan secara paksa. Dengan ini, Sun sudah wajar kalau membalas. Namun, Guan terlalu percaya diri terhadap menara yang ia tegakkan di dataran tinggi sepanjang Sungai Yangtze untuk memantau pergerakan pasukan Sun. Perbuatannya ini mengakibatkan kehancuran (sebagaimana invasi Lü Meng's terhadap Provinsi Jing), tetapi tidak begitu signifikan untuk Pertempuran Fancheng sebab Guan tidak terpengaruh oleh tusukan Sun di punggungnya (Guan Yu malah mendirikan pertahanan terhadap Xu Huang).
Kesalahan pertama Guan menyangkut operasi ini adalah kesalahpahaman mengenai pengambil alihan Fancheng yang cepat. Ia tidak sadar bahwa banjir itu hanya sementara dan Cao Cao masih dapat mengirimkan unit demi unit bala bantuan jika ia tidak mampu merebut Fancheng dengan sebentar. Terdapat kesalahan strategi yang turut berkontribusi — Guan membagi pasukannya sekurang-kurangnya menjadi tiga: baris depan di Wilayah Jia, pasukan pengepung Xiangyang, dan pasukan utama yang ia sendiri kontrol. Karena itu ia melanggar hukum konsentrasi kekuatan sementara pengepungan di manapun itu akan lebih memakan waktu daripada jika ia mengkonsentrasikan kekuatannya. Lalu, ketika Xu Huang tiba di medan perang dengan tentara tak terlatih nan lemah, Guan seharusnya sudah menghabisi kawan lamanya sebelum Xu bersiap; ia justru memfokuskan diri pada pembangunan benteng dan mencoba meniru apa yang Zhou Yu lakukan di Pertempuran Jiangling. Kesalahan operasi yang terakhir ialah Guan memandang rendah rekan lamanya (mungkin Guan sebenarnya sudah cocok menilai Xu Huang sebab ia tidak begitu terpandang sebelum Pengepungan Fancheng). Di samping mengadakan dua pangkalan, Guan mendirikan sepuluh lapis barikade terhadap pasukan Xu yang kemudian masih memerintahkan penyerangan setelah menerima pasukan elite dan sukses menaklukkan pangkalan-pangkalan Guan.[1]
Ahli sejarah lain memandang Guan dengan empati karena pada pecahnya perang, ia menghadapi dilema akibat hasil yang tidak memuaskan tidak peduli serangan diluncurkan atau tidak. Di barat, meskipun Liu Bei dengan sukses memperoleh benteng yang kuat, Hanzhong, Liu Bei tidak dapat melanjutkan momentumnya karena penduduk Hanzhong secara drastis berkurang sebab 80.000 di antaranya pindah ke wilayah Cao Cao ketika ia mengalahkan Zhang Lu beberapa tahun silam.[3] Walau wilayah Hanzhong masih dihuni populasi yang cukup besar, Liu Bei akan menghadapi kendala logistik bila ia melanjutkan operasi militer terhadap Cao Cao karena ia telah meminta salah satu pejabatnya (Zhang He) untuk memindahkan 50.000 keluarga suku Di ke Provinsi Liang.[4] Menyisihkan platform andalannya ke Guanzhong, Cao menghalangi serangan Liu di utara. Maka, Guan memimpin pasukannya ke utara untuk tetap menekan Cao, pada saat yang sama memberikan Liu waktu untuk mengkonsolidasi perolehannya. Namun, banjir yang tidak diduga mengubah tujuan awal Guan untuk menaklukkan Provinsi Jing utara, yang merupakan tujuan yang membutuhkan bantuan Liu Bei dari barat dan jalan Sun Quan dari timur. Jika Guan Yu tidak melakukan kesalahan dengan memutuskan persekutuan Liu Bei dan Sun Quan, memperkuatnya malah, ia mungkin akan mendapatkan kesempatan untuk memberhasilkan apa yang telah ia mulai.
Rentetan kemenangan Liu Bei akhirnya berakhir setelah sepuluh tahun ia menaklukkan dua provinsi terbesar, merangkul banyak komandan dan penasihat terkenal, dan memperoleh dukungan paling populer sebagai "Raja" Han Zhong. Cao Cao dan Sun Quan takut akan kemenangan berlanjut Liu dan cukup bijak dalam bekerja sama. Meski demikian, yang merupakan pemenang utama dari masalah ini pastinya adalah Sun Quan, tidak hanya merebut bagian besar Provinsi Jing dari Liu Bei dan memenggal Guan Yu (salah satu jenderal paling terkenal), ia juga mengambil alih lebih dari 40.000 pasukan Yu Jin dan Guan Yu; yang paling penting, Sun Quan mengamankan Komando Nan yang sangat vital demi bertahannya rezim Wu Timur di masa depan (waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari Provinsi Jing ke Provinsi Yang ke hilir hanya sedikit, jika Provinsi Jing tidak dikuasai sama dengan pengontrol Provinsi Yang, pengontrol Provinsi Yang itu akan menghadapi potensi ancaman dari pihak lain sepanjang waktu). Cao Cao juga mengamankan domainnya di timur laut Provinsi Jing dengan menggagalkan serangan Liu Bei meskipun hampir saja tidak berhasil. Cao Cao pun lebih senang karena persekutuan antara Liu Bei dan Sun Quan berakhir walau Cao Cao meninggal tidak lama setelah pertempuran dan tidak menikmatinya. Liu Bei masih memegang kekuasaan di Jing, utamanya di barat laut meliputi Shangyong, Anyang, dan Xi Cheng.
Dalam novel sejarah Luo Guanzhong: Romance of the Three Kingdoms (Roman Tiga Kerajaan), meluapnya Sungai Han River bukanlah fenomena alam, melainkan rencana Guan Yu. Guan membendung sungai dan membukanya ketika penuh, menenggelamkan pasukan Cao Cao di dataran yang lebih rendah. Peristiwa ini dikenal sebagai Drowning of the Seven Armies (水淹七軍) (Tenggelamnya Tujuh Pasukan). Pang De bertahan dengan teguh dan berusaha kabur dengan berenang tetapi ditangkap oleh rekan Guan Yu, Zhou Cang. Sebaliknya, Yu Jin digambarkan memohon nyawanya diampuni dan menyerah kepada Guan Yu.
Beberapa pekan kemudian, Sun Quan, yang secara sembunyi-sembunyi bersekutu dengan Cao Cao, menyerang pasukan Guan Yu di Jiangling. Sun Quan mengejutkan dan mengalahkan pasukan Guan Yu di sana, memaksanya menghentikan pengepungan terhadap Fancheng dan mundur. Guan Yu dan putranya, Guan Ping, sementara kabur ke Provinsi Yi (meliputi Lembah Sungai Sichuan), ditangkap dan dieksekusi oleh tentara Sun Quan.
Dalam novel, kekuatan Guan Yu sangat dilebihkan demi dramatisasi; contoh yang paling jelasnya adalah seluruh Provinsi Jing di bawah kontrol Liu Bei. Kenyataannya, wilayah itu terbagi menjadi tiga bagian, dikuasai secara terpisah oleh ketiga kubu: Liu Bei memegang yang paling sedikit, baik dari segi populasi dan area, dan hanya mampu menyediakan 25.000 pasukan sekaligus dengan Guan Yu hanya memimpin 15.000 pasukan di permulaan pertempuran. Fakta sejarah penting lainnya yang tidak disebutkan dalam novel termasuk di antaranya adalah Cao Cao yang awalnya hendak menyerang Guan Yu terlebih dahulu tidak dapat melaksanakan rencananya karena harus melumpuhkan pemberontakan terlebih dahulu. Dukungan logistik, faktor kunci lain untuk hasil pertempuran ini pun tidak disinggung dalam novel. Walaupun Guan Yu pada aslinya tentu berhak dihargai atas keberaniannya memimpin pasukan garis depan menyerang musuh yang hampir berkekuatan sepuluh kali lipat juga berhasil memperoleh kemenangan menakjubkan di babak awal, ia terlalu dibesarkan dalam novel karena pengarangnya, Luo Guanzhong, secara pribadi memuja Guan Yu, karakter yang paling dimuliakan dan diagungkan dalam novelnya.
Pada Juli 219, Sun Quan memobilisasi pasukannya dalam persiapan untuk menyerang Hefei, dan pasukan Cao Cao didistribusikan ke daerah selatan Sungai Huai untuk menangkis kemungkinan serangan. Mendapat kesempatan, Guan Yu memutuskan untuk meluncurkan serangannya sendiri melawan Cao Cao. Mi Fang, administrator Komando Nan (南郡; kini Wilayah Jiangling, Hubei) diperintahkan untuk tinggal di belakang untuk menjaga Jiangling (江陵) Kota Komando Nan, sementara Jenderal Shi Ren diperintahkan untuk menjaga Gong'an (公安; barat laut Wilayah Gong'an masa sekarang, Hubei). Kekuatan utama Liu Bei di wilayah itu dipimpin oleh Guan Yu sendiri dan digunakan untuk menyerang benteng-benteng Cao Cao di utara.
Dalam permainan video Koei: Dynasty Warriors 4 dan Dynasty Warriors 5, Guan Yu digambarkan secara bersamaan mempertahankan tanah Provinsi Jing dan mengepung Kastil Fan (Fancheng). Lokasi kedua adalah fokus dari babak ini. Cao Ren ialah komandan yang bertahan dan pasukan Sun Quan kemudian muncul sebagai bantuan untuk Cao Ren. Khususnya, Pang De mengambil peran penting dan merupakan lawan yang berbahaya bagi Guan Yu dan sekutunya dalam babak ini. Dalam Dynasty Warriors 7, pertahanan Fancheng berfokus pada sisi Wei, invasi Provinsi Jing berfokus pada sisi Wu, dan penarikan mundur ke Maicheng berfokus pada sisi Shu.
KOMPAS.com - Kuda laut merupakan makhluk laut yang termasuk ikan, meski tampilan fisiknya sangat berbeda dengan ikan pada umumnya.
Kuda laut adalah bagian dari keluarga ikan Syngnathids dan berkerabat dekat dengan pipefish, trumpetfish, dan naga laut.
Umumnya, kuda laut ditemukan hidup di terumbu karang. Namun, kuda laut juga hidup di banyak daerah terlindung lainnya di air asin beriklim sedang dan tropis, seperti muara dan hutan bakau.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki populasi kuda laut yang cukup tinggi.
Baca juga: Apakah Kuda Laut Termasuk Ikan?
Terdapat 54 spesies kuda laut di seluruh perairan dunia dan 12 spesies di antaranya berada di Indonesia.
Dilansir dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), berikut adalah jenis-jenis kuda laut di Indonesia
1. Kuda laut zebra (Hippocampus barbouri)
2. Kuda laut ekor harimau (Hippocampus comes)
3. Kuda laut berduri (Hippocampus histrix)
4. Kuda laut kellogg (Hippocampus kelloggi)
5. Tangkur kuda (Hippocampus kuda)
6. Kuda laut bargibanti (Hippocampus bargibanti)
Baca juga: Cara Kuda Laut Berkembang Biak
7. Kuda laut wajah datar (Hippocampus trimaculatus)
8. Kuda laut landak (Hippocampus spinosissimus)
9. Kuda laut kerdil kuning (Hippocampus denise)
10. Kuda laut kerdil pontoh (Hippocampus pontohi)
11. Kuda laut terkecil (Hippocampus satomiae)
12. Hippocampus severnsi
Indogamers.com - Bagi pecinta game perang, game android bertema kapal perang memang seru banget buat dmainkan.
Dalam game android bertema kapal perang ini, pemain akan dihadapkan pada pertempuran di lautan dengan kapal perang berteknologi canggih.
Berikut adalah 3 rekomendasi game android bertema kapal perang yang menawarkan sensasi unik dengan mekanik pertempuran yang seru.
Baca Juga: Lirik Lagu Game Never Over, Theme Song Resmi M6 MLBB 2024
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait
5 Pertempuran di Indonesia Pasca Kemerdekaan – Diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah menjadi akhir dari perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Meski sudah mengumandangkan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, banyak ujian yang harus dihadapi oleh negara Indonesia.
https://www.viva.co.id/
Sebab, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya saat sedang dalam keadaan vacuum of power atau kekosongan kekuasaan pasca Jepang mengaku kalah kepada sekutu. Karena adanya pengakuan kalah tersebut, pasukan sekutu akan mengambil alih wilayah yang menjadi bekas jajahan Jepang, termasuk Indonesia.
Inilah alasan mengapa kondisi keamanan serta pertahanan Indonesia belum benar-benar stabil pada masa-masa awal pasca kemerdekaan. Berbagai pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan pun terjadi di berbagai daerah. Dari berbagai perang yang terjadi, berikut 5 pertempuran kemerdekaan yang paling dikenang dalam sejarah.
Bandung Lautan Api
https://www.liputan6.com/
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1946. Dalam waktu kurang lebih tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar tempat tinggal mereka dan meninggalkan kota untuk menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan guna untuk mencegah tentara Sekutu beserta dengan tentara NICA Belanda untuk menjadikan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam upaya perang untuk merusak kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Pada mulanya, hubungan mereka dengan pemerintah Republik Indonesia sudah tidak baik. Mereka menuntut supaya semua senjata api yang ada di tangan masyarakat, kecuali bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), diserahkan kepada sekutu. Disamping itu, Para orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan berbagai tindakan yang mengganggu keamanan sekitar. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara tentara Inggris dengan TKR tak bisa terhindarkan.
Pada malam hari, tanggal 21 November 1945, TKR dibantu dengan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap tempat yang dijadikan markas oleh tentara Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Preanger dan Hotel Homann. Tiga hari kemudian, pemimpin pasukan Inggris, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengosongkan Bandung Utara dari para penduduk Indonesia termasuk juga para pasukan bersenjata.
Ultimatum dari Tentara Sekutu supaya Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Para pejuang pihak Republik Indonesia merasa tak rela apabila Bandung digunakan oleh pihak Sekutu dan NICA untuk dijadikan sebagai markas. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diputuskan melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang pada masa itu menjabat sebagai Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk segera melakukan evakuasi ke luar Kota Bandung. Pada hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang untuk meninggalkan kota Bandung dan pada malam itu juga pembakaran kota berlangsung.
Kota Bandung dengan sengaja dibakar oleh TRI dan masyarakat setempat dengan maksud supaya Sekutu tidak bisa menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Tentara Inggris murka dan mulai menyerang sehingga terjadi sebuah pertempuran sengit. Pertempuran terbesar terjadi di Desa Dayeuhkolot, yakni daerah sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar yang dimiliki oleh Tentara Sekutu.
Dalam pertempuran ini dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) yakni Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan terjun ke dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang dengan menggunakan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi yang berada di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya berencana untuk tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan, maka pada pukul 21.00 WIB, mereka turut ikut dalam rombongan yang melakukan evakuasi dari kota Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih sekitar pukul 00.00 WIB, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan juga TRI. Meski demikian, api masih membubung tinggi membakar kota, sehingga Bandung pun seakan menjadi lautan api.
Pembakaran total kota Bandung tersebut dianggap sebagai strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena pada masa itu, kekuatan TRI bersama dengan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan dari pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Pasca peristiwa tersebut, TRI bersama dengan milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya di luar Bandung.
https://www.minews.id/
Salah satu pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang paling dikenang ialah perang Puputan Margarana di Bali pada tanggal 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kolonel I Gusti Ngurah Rai.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerahnya untuk menghadang agresi dari pihak Belanda yang ingin kembali untuk menguasai Bali. Ia pun membentuk pasukan yang dinamakan sebagai pasukan Ciung Wanara.
Pada perjanjian Linggarjati 10 November 1946, pihak Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa, dan Madura sebagai wilayah dari Republik Indonesia. Sedangkan Belanda ingin menjadikan Bali masuk ke dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT). I Gusti Ngurah Rai pun dibujuk oleh para pasukan Belanda untuk bergabung. Akan tetapi, rasa cintanya kepada Republik Indonesia membuatnya enggan.
I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukan Ciung Wanara untuk merampas seluruh persenjataan yang dimilki oleh polisi NICA yang sedang menduduki Kota Tabanan. Sikap dari Ngurah Rai membuat pihak Belanda geram dan ingin membalas dendam.
Saat pasukan Ciung Wanara beserta dengan sang pemimpin sedang melakukan long march ke Gunung Agung, mereka diserang oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi terdesak, Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan yang mengeluarkan seluruh tenaga. Dalam pandangan para pejuang Bali, lebih baik berjuang sebagai ksatria daripada menyerah dan jatuh ke tangan musuh.
Sengitnya perlawanan tersebut, membuat militer Belanda mengerahkan pesawat tempur yang diterbangkan dari Makassar. Pasukan Ciung Wanara dijatuhi bom dan juga rentetan tembakan. Namun, Pasukan Ngurah Rai tak mundur.dan menjadikan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan 95 orang pasukannya. Sedangkan sekitar 400 orang dari pihak Belanda tewas.
Battle of Warships: Online
Battle of Warships: Online adalah game bertema kapal perang yang menampilkan pertempuran seru dengan teknologi canggih di tengah lautan. Dalam game ini, kamu bisa mengendalikan berbagai kapal perang legendaris dari era Perang Dunia I dan II. Tak hanya itu, kamu juga dapat meningkatkan mesin kapal untuk mengoptimalkan performa dan mengalahkan musuh.
Game ini menghadirkan lebih dari 20 kapal perang unik dengan grafis 3D realistis yang memukau. Pemain juga dapat menggunakan berbagai senjata mematikan, seperti torpedo, misil, dan masih banyak lagi, untuk mendominasi pertempuran.